07 Maret 2017

aDhydro mendukung : Menggagas Pajak Emisi Gas Buang

Oleh Joko Tri Haryanto, pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI*
http://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/Menggagas%20Pajak%20Emisi%20Gas%20Buang.pdf

Dalam sebuah artikel di situs Hijau Indonesia, disebutkan adanya ketidaksadaran kita telah hidup di kota dengan tingkat polusi yang jauh melebihi standar yang berlaku secara internasional. Dan tanpa disadari juga, selama ini kita telah menghirup udara yang mengandung benda-benda partikulat yang sangat tinggi. Menurut penelitian WHO, banyak kota-kota besar di dunia, termasuk di Indonesia yang memiliki tingkat polusi PM10 rata-rata per tahun yang jauh melebihi batas aman yang ditetapkan organisasi kesehatan dunia ini.
Dari sisi akademik, PM10 adalah benda-benda partikulat yang ukurannya kurang dari 10 mikron. Benda-benda partikulat ini hampir mustahil diamati dengan mata telanjang. Manusia hanya bisa melihat benda dengan berukuran sama atau di atas 40 mikron tanpa bantuan alat seperti mikroskop. Benda-benda partikulat inilah yang bertanggung jawab terhadap berbagai masalah kesehatan di masyarakat seperti asma, bronkitis, kanker paru-paru hingga perilaku kekerasan dan menurunnya kecerdasan anak.
Berdasarkan laporan yang dirilis WHO misalnya, dari 5 kota di Indonesia yang diamati, hanya Kota Pekanbaru yang memiliki standar polusi rata-rata per tahun di bawah standar WHO sebesar 20 mikrogram per meter kubik (20 µg/m3). Dari data yang diambil WHO pada 2008, tingkat polusi PM10
Pekanbaru sebesar 11 mikrogram per meter kubik (11 µg/m3). Sedangkan kota-kota besar lain di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, Bandung dan Medan, memiliki tingkat polusi yang jauh di atas batas aman WHO.
Jakarta misalnya, standar polusi udara yang dicatat WHO di tahun 2008 sudah mencapai 43 µg/m3 – 200% di atas standar aman WHO. Angka ini meningkat pada 2009 menjadi 68,5 µg/m3 atau lebih dari 300% dari standar aman WHO. Tahun 2010 angka ini diklaim turun walaupun masih 200% di atas standar WHO menjadi 48,5 µg/m3 sebagian karena efek diselenggarakannya program bebas kendaraan bermotor di Jakarta (Jakarta Car Free Day).
Masih berdasar laporan yang sama, Kota Surabaya, Bandung dan Medan justru memiliki kualitas udara yang lebih parah dari Jakarta. Standar polusi PM10 di Kota Kembang mencapai rata-rata 51 µg/m3 per tahun, sementara di Surabaya nilainya mencapai 69 µg/m3, dan Medan mencapai 111 µg/m3 per tahun. Angka-angka di atas memberikan gambaran nyata betapa buruknya tingkat polusi udara di kota-kota besar di Tanah Air.
Kondisi ini tentu saja menggambarkan trade off yang sangat rumit, mengingat sektor otomotif sering diklaim menjadi penyumbang utama memburuknya kualitas udara, sementara di sisi lain sektor otomotif juga menjadi kontributor utama pertumbuhan ekonomi nasional khususnya dari sektor konsumsi masyarakat. Terlebih di tahun 2012, berdasarkan data Gaikindo, pasar mobil baru-baru saja mencetak rekor penjualan unit mobil hingga 1 juta unit, tertinggi dalam sepanjang sejarah industri otomotif nasional. Selama 10 tahun terakhir, tren penjualan kendaraan bermotor khususnya, mobil memang terus meningkat secara signifikan. Jika tahun 2003, penjualan mobil masih di kisaran 354 ribu unit kendaraan, tahun 2011 angka penjualan sudah melonjak hingga 813 ribu unit  kendaraan. Sempat terjadi sedikit fluktuasi tahun 2006 dan 2009 seiring dengan badai krisis ekonomi yang melanda dunia.
Dari sisi domestik, fluktuasi tersebut berbarengan dengan kebijakan Pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi. Pencapaian prestasi penjualan 1 juta unit mobil tentu patut mendapat apresiasi tersendiri, mengingat beratnya tantangan dan hambatan yang menghadang di tahun 2012, mulai dari wacana kenaikan harga BBM bersubsidi, kenaikan uang muka kredit kendaraan serta permasalahan buruh yang tak kunjung mereda. Keberhasilan tersebut sekaligus mengindikasikan 100% pulihnya daya beli masyarakat yang sempat terpuruk akibat krisis ekonomi.
Menggeliatnya pasar otomotif memang memberi dampak signifikan bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Sayangnya, kenaikan laju sektor otomotif masih belum seimbang dengan ketersediaan jalan, pengaturan perparkiran serta penyediaan transportasi publik. Beberapa proyek transportasi umum memang tengah disiapkan meskipun masih terkendala baik oleh permasalahan birokrasi maupun teknis. Akibatnya, sebagaimana telah disampaikan, kualitas udara di beberapa kota-kota besar di Indonesia terus memburuk.
Banyak kerugian yang ditimbulkan oleh terlepasnya berbagai zat beracun dalam kendaraan bermotor ke udara. Secara umum dampak-dampak yang sering teridentifikasi adalah munculnya gangguan hipertensi akibat tekanan kerja jantung yang berlebihan untuk mengalirkan darah ke seluruh tubuh, munculnya penyakit gangguan mata, penurunan kecerdasan, terganggunya perkembangan mental anak, penyakit aluran pernafasan serta dalam jangka panjang munculnya bahaya kanker dan gangguan fungsi reproduksi pria.
Secara teori ada beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk mengendalikan emisi gas buang melalui kebijakan fiskal dan non-fiskal. Melalui kebijakan fiskal, Pemerintah dapat mengenakan mekanisme pajak kendaraan, pajak bahan bakar serta insentif fiskal untuk kendaraan ramah lingkungan. Sedangkan strategi non-fiskal dapat ditempuh melalui pengetatan standar emisi gas buang, pembatasan lalu lintas, pengembangan bahan bakar ramah lingkungan serta peningkatan kualitas bahan bakar.
Ide Pajak Emisi Gas Buang
Hingga saat ini, Pemerintah sudah menerapkan standar pengaturan emisi gas buang sebagai prasyarat di dalam perpanjangan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) setiap tahunnya. Bahkan persyaratan mengenai emisi gas buang sudah menjadi aturan tersendiri dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan. Dalam Pasal 64 paragraf 1 dikatakan bahwa emisi gas buang menjadi persyaratan laik jalan kendaraan bermotor. Pasal 65 juga menyebutkan bahwa emisi kendaraan bermotor harus diukur berdasarkan kandungan polutan yang dikeluarkan kendaraan bermotor serta wajib tidak melebihi ambang batas yang ditetapkan. Penetapan ambang batas tersebut diselenggarakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup. 
Berdasarkan besarnya dampak yang ditimbulkan oleh pengelolaan emisi gas buang, penulis menyarankan untuk mengkaji lebih dalam kemungkinan pengenaan pajak emisi gas buang setiap tahunnya, berbarengan dengan pengenaan PKB. Dengan pengenaan pajak emisi gas buang, nantinya tidak akan menghilangkan kewajiban pembayaran berbagai jenis pajak kendaraan bermotor (PKB) lainnya, namun ada sedikit penyesuaian di dalam sistem pemungutannya. Pajak emisi gas buang tersebut nantinya akan mengadopsi mekanisme insentif dan dis-insentif pajak. Untuk kendaraan bermotor yang melebihi ambang batas emisi gas buang akan dikenakan tarif pajak progresif, sebaliknya untuk kendaraan bermotor yang mampu mengelola emisi gas buang di bawah ambang batas akan memperoleh keringanan tarif pajak. Pajak emisi gas buang tersebut nantinya akan dikenakan oleh Pemda dan dikelola oleh Provinsi, berbarengan dengan pengenaan PKB di dalam STNK pemilik kendaraan bermotor.
Seyogyanya pajak emisi gas buang kendaraan bermotor ini wajib di ear marking, untuk dikembalikan lagi kepada pembangunan infrastruktur jalan, pemeliharaan jalan, infrastruktur transportasi umum, pengembangan bahan bakar alternatif, pengujian emisi serta upaya perbaikan kualitas udara yang tercemar. Pemda yang tidak menaati aturan penggunaan dapat dikenakan sanksi dan hukuman misalnya tidak mendapatkan alokasi dana untuk periode selanjutnya.
Terkait ide tersebut, Indonesia dapat mencontoh Australia yang sudah terlebih dahulu menerapkan mekanisme pajak emisi gas buang. Meskipun awalnya menuai banyak protes khususnya dari para oposisi dan industriawan, pajak itu akan dikenakan pada polusi yang dihasilkan oleh korporasi. Sekitar 350 perusahaan ‘produsen’ polusi utama harus membayar sebesar 23 dolar Australia atau setara Rp220 ribu untuk setiap ton karbon yang mereka hasilkan. Sebagai gambaran, Australia sendiri merupakan salah satu negara produsen polusi per kapita terparah di dunia.
Dengan skema tersebut, Pemerintah Australia berharap tahun 2020, polusi karbon Australia setidaknya akan berkurang 159 juta ton/tahun dibandingkan dengan jika skema tidak diterapkan. Pengurangan polusi ini sama dengan melenyapkan sekitar 45 juta mobil dari jalanan. Rencananya setelah 3 tahun berjalan, akan ada transisi dari pajak karbon ke skema perdagangan emisi berbasis pasar.
Demi tujuan perbaikan bersama Jakarta yang kita cintai, rumusan di atas tentu bukan hal mutlak yang tidak dapat diperdebatkan. Justru berbagai masukan yang konstruktif sangat dibutuhkan. Namun semuanya harus bermuara pada satu tujuan bersama menciptakan transportasi Jakarta yang bersahabat dan bermartabat.

*Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja

Tidak ada komentar: